Sebagai
orang pertama yang menginjakkan kaki di Bulan, namanya akan selalu
diingat dari generasi ke generasi. Ditulis dengan tinta emas dalam
sejarah penjelajahan manusia ke luar angkasa. Namun, tak banyak orang
tahu, Neil Armstrong sangat sulit diwawancarai.
Adalah Direktur
CEO Certified Practicing Accountants (CPA) Australia, Alex Malley yang
berhasil membuat Sang Astronot buka mulut selama satu jam, salah satu
tentang perjalanannya ke Bulan.
Dalam video wawancara yang
diunggah ke situs CPA, Armstrong membuka rahasia, bagaimana dulu ia
berpikir, misi Apollo 11 yang berhasil membawanya ke Bulan hanya punya
peluang 50 persen untuk mendarat ke permukaan satelit Bumi itu. Juga
tentang kekecewaannya pada ambisi Pemerintah AS terkait Badan Antariksa
Amerika Serikat (NASA) tak seantusias pada tahun 1960-an.
Padahal,
"NASA menjadi salah satu investasi publik yang paling berhasil dalam
hal memotivasi siswa untuk berbuat yang terbaik untuk meraih apa yang
bisa mereka capai," kata Armstrong seperti dimuat Guardian, 23 Mei 2012.
Saat
masih kecil, ia mengaku terpesona dengan kata "penerbangan". "Sejak aku
di sekolah dasar. Karena itulah aku ingin masuk ke dunia itu," dia
menambahkan.
Impian Armstrong untuk terbang tercapai. Ia menjadi
pilot pesawat tempur di Perang Korea, dan bekerja menjadi pilot tes
saat Presiden John F Kennedy mengeluarkan tantangan pada ilmuwan untuk
menerbangkan manusia ke Bulan pada 1962 silam.
Kala itu, AS baru
bisa mengirim Alan Sheppard 100 mil di atas permukaan Bumi selama 20
menit. "Kesenjangan antara 20 menit di atas Bumi dengan ambisi ke Bulan
adalah sesuatu yang hampir di luar dugaan secara teknis kala itu," kata
dia.
Setelah itu, selama bertahun-tahun, NASA mengembangkan misi
Apollo. "Sebulan sebelum peluncuran Apollo 11, kami sangat percaya diri
mencoba turun ke permukaan Bulan," kata dia. "Saat itu, aku berfikir
kami memiliki peluang 90 persen untuk kembali ke Bumi dengan selamat,
namun peluang untuk mendarat dalam percobaan perdana hanya 50 persen."
Kala
itu, ada banyak hal yang tidak diketahui tentang orbit Bulan dan
kondisi permukaannya. "Jika ada sesuatu yang tak kami mengerti saat itu,
kami harus membatalkan misi dan pulang ke Bumi tanpa melakukan
pendaratan."
Saat Armstrong dan Buzz Aldrin mengendalikan pesawat
Eagle ke permukaan Bulan, kemudi otomatis yang dikendalikan komputer
berniat menurunkan mereka ke wilayah pinggir kawah besar dengan lereng
terjal dengan batu-batu besar. "Bukan tempat yang baik untuk melakukan
pendaratan," kata Armstrong.
Lalu, ia mengambil alih kemudi dan
menerbangkan pesawat secara manual. "Aku menerbangkannya seperti
helikopter ke arah barat, ke wilayah yang lebih halus yang tak banyak
batunya, sebelum bahan bakar habis," cerita dia. Bahan bakar yang
tersisa hanya bisa digunakan untuk terbang selama 20 detik.
Saat
para astronot mendarat ke Bulan, ia menggumamkan kalimatnya yang abadi,
"satu langkah kecil bagi seorang manusia, sebuah lompatan besar bagi
umat manusia."
Apa yang ia rasakan dan pikirkan saat itu?
Armstrong mengatakan, ada banyak yang harus dikerjakan saat itu
ketimbang berpikir atau bermeditasi tentang keberadaannya.
Kini
bertahun-tahun setelah keberhasilannya meninggalkan tapak kaki di Bulan,
Armstrong mengaku sedih dengan posisi NASA yang dikendalikan
pemerintah. "Kita ada dalam situasi di mana Kongres dan Gedung Putih
saling memaksakan pendapat mereka tentang penjelajahan luar angkasa.
NASA bagai shuttlecock," kata dia.
Sementara, Malley yang
mewawancara Armstrong tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada astronot
itu. "Aku tahu satu hal orang tak tahu tentang Armstrong: ayahnya
seorang auditor," kata dia. "Bagi seorang pemimpin atau yang ingin
menjadi pemimpin, mendengarkan ucapan Neil Armstrong lebih baik dari
mendengarkan kuliah MBA yang ada saat ini," kata dia.