PAHLAWAN YANG DIOLOK-OLOK?
Beberapa waktu lalu, foto ini sempat menjadi bahan olok-olokan di forum
sosmed. Saya sebenarnya sangat tidak setuju dengan prilaku konyol itu,
siapapun yang ada di foto tersebut, ia tetap orang tua yang layaknya
harus kita hormati. Barusan tiba-tiba seorang memberitahu bahwa orang tua yang ada di foto itu sesungguhnya bukan orang sembarangan. Katanya,ia yang bernama Anwar
adalah mantan seorang komandan kompi berpangkat Letnan yang pernah
menghadapi Jepang, Inggris dan Belanda di Sumatera Selatan.
Saat melakukan penyusupan ke Payakumbuh, ia tertangkap Belanda dan
mengalami siksaan berat di penjara Padang (dipukuli dan disuruh minum
air kencing).
Saya tidak tau saat ini nasibnya bagaimana, tapi pada 2008 lalu koran
PosMetro sempat mengangkat nasib sang pejuang tersebut yang saat
diwawancara berprofesi sebagai seorang pengemis di Kawasan Simpang Potong, Kota Padang.
Rasanya kalau saya punya "amunisi cukup" saya ingin ke Padang dan
menemuinya sekarang juga, sekadar untuk menghargai orang yang pernah
menjadikan dirinya "bemper" untuk perjuangan negeri saya. Jika ada yang
tau nasibnya sekarang, tolong, tolong..kasih tau saya. Terimakasih
(hendijo)
Untuk tau siapa ortu ini, silakan lihat link ini ( walaupun saya agak
kecewa tulisan yang ada di link tersebut "sangat kurang dan tidak
jelas") http://komunitas-cinta-pejuang-indon...gemis-1_6.html
SENIN 28 Juli 2008, Simpang Potong, Kota Padang. Sebentuk tubuh tua
ringkih, tampak terduduk lesuh. Tanpa alas di atas trotoar berwarna
coklat. Tubuhnya hanya terbungkus kemeja buram. Kepalanya, juga tertutup
kopiah hitam yang tampak sudah digerogoti usia. Kopiah itu, seolah
setia menutupi rambutnya yang memutih.
Lelaki tua itu bernama Anwar berumur 94. Tanah Kuranji adalah tempat
pertama yang menyambut kelahiran Anwar. Wajahnya keriput, dipenuhi
bulu-bulu kasar berwarna abu-abu. Dengan gigi yang hanya tinggal dua,
mulut Pak tua tampak komat-kamit, menyeringai. Sesekali, tangannya
menengadah, pada setiap manusia yang berlalu. Berharap belas kasihan dan
secarik uang untuk pengisi perutnya yang mulai minta diisi. Namun semua
tampak acuh. Anwar tak putus asa, tangannya semakin dijulurkan.
Anwar tak punya rumah. Hidupnya hanya numpang di rumah warga Koto Baru,
orang yang berbaik hati menampung tubuh ringkihnya. Hidup sendirian di
hari tua ternyata membuat Anwar harus mengalah pada kerasnya dunia. 10
tahun sudah Anwar jadi pengemis. Hanya menengadahkan tangannya, itulah
cara Anwar bertahan hidup. Maklum, usia yang hampir satu abad tak ada
yang bisa dikerjakannya. Tulangnya rapuh.
Jangan tanyakan keluarga pada Anwar, sebab, itu hanya akan membuatnya menangis.
"Saya tak punya keluarga. Istri saya sudah meninggal tahun 1960. Bersama bayi yang dikandungnya. Mati karena kurangnya gizi" terang Anwar. Air mata bening menjalar di pipi keriputnya.
Tak seperti pengemis lainnya, yang kebanyakan terbelakang dan tak pernah mengenyam pendidikan. Anwar lain.
Tiga
bahasa asing, Bahasa Jepang, Ingris dan Belanda dikuasainya. Bahkan
waktu berdialog dengan POSMETRO sesekali lontaran ucapan berbahasa
Belanda pun diucapkannya. Anwar fasih, lidah tuanya seakan sudah biasa melafazkan ucapan bahasa asing tersebut.
foto asli
Semakin penasaran dengan "Pak Tua Simpang Potong" itu, Penulis pun mulai
menjejeri langkah Anwar. Mencoba mengorek lebih dalam tentang dirinya.
Siapa gerangan Anwar, sudah rapuh tapi kuasai tiga bahasa? Ada sesuatu
cerita tersembunyi dari lembar hidup Pak tua dan itu membuat hasrat
penasaran penulis kambuh!. Dua hari menyatroni Anwar di simpang Potong,
akhirnya Penulis tahu kalau Anwar bukan pengemis sembarangan. Catatan
sejarah terpampang dari celoteh Pak Tua itu.
Memang sekarang Anwar hanyalah pengemis tua yang menyedihkan. Hidupnya
tak tentu arah. Tapi, jika merunut sejarah "tempo doeloe" Anwar adalah
pemuda gagah yang ikut mengokang senjata melawan para penjajah. Pangkat
yang disandang Anwarpun tak main-main, Letnan Satu, Komandan Kompi 3
Sumatra Bagian Selatan. Itulah daerah Anwar waktu menjabat sebagai
serdadu bangsa untuk mengusir penjajah. Bukankah luar biasa "si Anwar
Muda"?.
"Saya bekas tentara Sumatra Selatan. Di bawah pimpinan Bagindo Aziz
Chan (Pejuang Pakistan -+) saya menjadi komandan Kompi 3 untuk
berpetualang, melintasi medan demi menyerang Belanda. Tak terkira
berbagai kisah pilu yang saya alami saat perang bergejolak. Tapi, untuk
bangsa itu semua belum apa-apa. Hanya satu hal yang membuat kami bangga
waktu pulang dari medan perang. Bangga jika membawa topi serdadu
Belanda, itu jadi kebanggaan tersendiri dan membuat kita merasa
terhormat,"ulas Anwar menatap kosong.
Lubang kecil bekas hantaman peluru yang menghiasi kaki kananya, menjadi bukti keikutsertaan Anwar berjuang untuk bangsa.
"Kaki ini ditembus peluru di Jalan Jakarta (sekarang bernama Simpang
Presiden). Waktu itu hari masih pagi. Bangsa kita baru saja membuat
perjanjian dengan Belanda (Perjanjian Linggar Jati). Tapi Aziz Chan
menentang perjanjian itu. Belanda marah dan mengamuk. Menyerang membabi
buta di tengah Kota. Hasilnya, ya kaki ini kena tembak waktu mau pulang
ke Posko," terang Anwar.
Bukan sekali Anwar kena tembak, bahkan, pengap dan lembabnya dinding jeruji besi pun telah dua kali Anwar rasai.
"Empat
tahun saya dibui. Tertangkap waktu bergerilya, dari Padang dengan
tujuan Payokumbuah yang waktu itu (tahun 1946) sedang bergejolak. Tapi
sial, melewati Padangpanjang saya tertangkap Belanda. Waktu itu, peluru
habis sementara kaki saya masih terbalut secarik kain yang menutupi
lubang timah panas. Saya digiring, kaki dirantai, diberi golongan besi, " ungkap Anwar mencoba merunut kembali petualangan masa lalunya.
Di Panjang Panjang, Anwar diperlakukan tak senonoh oleh tentara Belanda.
Hantaman bokong senjata, sayatan belati sampai minum air kencing "sang
meneer" pun hampir tiap hari menyinggahi kerongkongan Anwar. Namun Sang
Letnan tetap tegar. Kepalanya tetap tegak, walau kucuran darah dari
pelipisnya tak pernah berhenti.
"Penjara dulu, bukan seperti sekarang. Dulu, tangan di ikat kawat
berduri, kaki di ikat dengan rantai yang diberi golongan besi. Saban
hari kena pukul. Bahkan, Untuk minum, mereka memberi air putih yang di
campur kencing," celoteh Anwar.
Soal Nasiolisme,
Anwar bak " Si Naga Bonar '' walau tua tapi kecintaannya pada Indonesia tak pernah surut. Terus berkobar.
"Saya
pernah ditanya belanda, apakah saya berjuang dan jadi tentara karena
hanya sekedar kedudukan dan jabatan semata?. Saya jawab aja apa adanya, "
"Aku berjuang untuk Negara, bukan kedudukan. Bila kelak aku mati di
sini. Aku bangga, karena itu demi negara," ulas Anwar mengingat kembali peristiwa hidup yang masih segar dalam ingatannya.
Kemerdekaanpun sepenuhnya diraih Indonesia. Namun tak begitu bagi
Anwar,
tak ada penghargaan yang diterimanya. Pengorbanan dan perjuangannya
yang dikibarkannya seorang Anwar seakan dilupakan. Anwar hilang di
tengah gegap gempita eforia kemerdekaan. Ditambah kematian istri, seolah
pembawa petaka. Anwar kehilangan semangat hidup. Sempat terjerumus ke
dunia hitam. Anwar tobat. Tapi, hidup memang tak pernah berpihak pada
Anwar. Semakin terlunta-lunta. Hingga jalan sebagai pengemispun jadi
pilihan terakhirnya.
Tak ada tanda jasa, tak ada
lencana penghormatan yang diterima Anwar dari Pemerintah. Bahkan gelar
pahlawan veteranpun tak singgah pada Anwar. "Saya tak butuh apapun.
Dulu, saya berjuang bukan untuk mendapatkan tanda jasa. Saya berjuang
untuk negara. Tak perlu tanda jasa apalagi uang. Biarlah hidup begini,
asal tak menganggu orang lain. Saya rela. Memang, angkatan saya yang
ikut mengangkat senjata kebanyakan tenang dan menjalani masa tuanya
dengan glamauran harta. Saya tak suka itu, bagi saya berjuang bukan
untuk kemapanan masa tua, tapi untuk kemerdekaan bangsa. Biarlah orang
memandang saya hina. Asal saya bisa tenang. Biarlah hanya makan sehari
yang penting bangsa ini merdeka,"jawab Anwar tegar, segera berdiri, pergi minta segelas air kepada pedagang di depan Masjid AL-Mubarah, Sawahan.
Hari ini , Jumat (1/8) Penulis kembali berniat menemui Anwar. Namun,
"Sang Letnan" menghilang dari Simpang Kandang. Dua onggok batu yang
biasanya jadi sandaran Anwar kehilangan tuannya. Anwar raib. Padahal
hari masih pagi, jarum jam baru berada di angka sembilan. Kemana Anwar?.
Kecewa dengan hilangnya Anwar, penulis mencoba menelusuri RTH (Ruang
Terbuka Hijau) Imam Bonjol. Tempat biasanya Anwar tidur ketika penat
datang mendera tubuh rentanya. Benar juga, tubuh renta Anwar tergolek
diantara rumpun hijau Imam Bonjol. Namun ada yang lain dari penampilan
Anwar hari ini. Bajunya tak hanya buram seperti kemarin, tapi lebih
parah, kemeja biru yang dipakainya sudah tak berbuah. Mempertontonkan
tulang-tulangnya yang kelihatan menonjol dibalut kulit keriput. Perutnya
kempis. Sandalnyapun berlainan warna, hijau dan biru berbalut seutas
tali plastik warna putih.
Mencoba mendekat, ternyata Anwar tertidur. Dadanya terlihat turun naik
beraturan, membusung. Tulang dadanya semakin menonjol. Perlahan mata
Anwar terbuka. Sesaat pandangannya kosong.
"Tadi Saya pingsan nak,
perut lapar. Padahal saya belum dapat apa-apa. Saya tak kuat berdiri.
Untunglah ada seorang tukang becak yang kasihan pada saya. Membelikan
saya sebungkus nasi telur. Tapi badan ini masih lemas," terang Anwar lesu.
Seperti sebelumnya, Walaupun tubuh rentanya masih lemah, Anwar tetap
bercerita panjang lebar tentang kerasnya hidup yang dilewatinya selama
10 tahun hidup dijalanan. "Saya hanya kuat berdiri di simpang ini sampai
pukul 11 siang. Tubuh ini sudah terlalu tua untuk lama-lama berdiri.
Matahari terlalu garang. Berlainan benar waktu muda dulu, beratnya medan
tempur selalu bisa saya taklukkan. Ah, sampai kapan tubuh ini bisa
bertahan menunggu kepingan logam. Saya tak tahu," Anwar menerawang.
Perlahan, rentetan-rentetan kehidupan
Anwar mulai terkuak. Celoteh panjang Anwar menguak tabir tersebut. Rupanya,
Anwar
juga pernah menjadi awak kapal barang berbendera Jerman. Lulus di
Sekolah Sembilan (Belakang Tangsi) tahun 1930. Anwar mulai berpetualang.
Dari tahun 1932 sampai 1939 Anwar berlayar. Dalam kurun waktu itu tak
sedikit keragaman budaya yang dilihat Pak Tua.
"Saya lulus sekolah Belakang Tangsi 1930. Selanjutnya berlayar tujuh
tahun mengelilingi Asia sampai ke Australia. Kemudian pulang untuk
berjuang. Saya tak mau bersenang-senang di atas Kapal, sementara Bangsa
kita sedang berjuang merebut kemerdekaan. Naluri kebangsaanlah yang
memanggil jiwa ini untuk ikut berjuang," terang Anwar.
Anwar berpetualang, menyelusuri setiap pelosok Tanah Indonesia untuk
berjuang mengusir Sang Meneer dari Indonesia. Awalnya hanya bermodalkan
bambu runcing.
Anwar akhirnya mendapatkan senjata rampasan dari tentara
Belanda. Senjata ditangan,
Anwar muda mulai merengsek. Memuntahkan
pelurunya di barisan terdepan pejuang Indonesia.
"Pada awalnya tak ada senjata. Kami hanya bermodalkan bambu. Namun,
dari tangan belanda yang berhasil kami bunuh, kami nisa memperoleh
senjata. Dengan itulah kami menyerbu musuh. Mengambil topinya sebagai
"cinderamata" dari medan tempur,";lanjut Anwar.
Hingga Akhirnya Indonesia merdeka. Belanda pergi dari tanah Bangsa.
Tentu, kemerdekaan itu adalah hasil perjuangan pahlawan kita. Termasuk
Si Anwar yang berjuang di dua episode perang tersebut. Anwar bertarung
dengan gagah. Namun apa yang didapatkan sang Letnan?. Hingga detik ini
Anwar masih berstatus pahlawan bangsa yang terabaikan. Pahlawan yang
menyongsong hari tuanya dengan melakoni profesi sebagai pengemis.
Indonesia merdeka, namun Anwar masih tetap "terjajah oleh hidup"!!.
Memang, dulu
Anwar pernah diberi
secarik kertas bertuliskan penganugrahan sebagai pejuang oleh
Pemerintah. Namun karena jalan hidupnya yang sering berpindah tempat
"surat wasiat" itu raib entah kemana. Padahal, surat itu adalah sebagai
landasan Anwar untuk menerima haknya sebagai Veteran."
"Memang dulu saya diberi surat oleh Pemerintah. Kalau tak salahnya
surat Bintang Grelya. Tapi surat itu sudah hilang. Kata orang surat itu
adalah syarat untuk menerima tunjangan dari pemerintah. Tpi tak apalah,
saya juga tak perlu itu. Kan sudah saya katakan kalau saya berjuang
bukan untuk uang apalagi jabatan. Walaupun meminta-minta tapi saya tak
menyusahkan orang lain. Saya sudah pernah hidup senang di atas kapal.
Sekarang saatnya susah. Hidup seperti roda nak. Kadang di bawah. Sekali
lagi, saya berjuang untuk Indonesia. Melihat Merah Putih berkibar tanpa
gangguan itu adalah suatu kebanggaan tersendiri. Tak ada yang membuat
saya bahagia kecuali melihat kibaran bendera Indonesia," celoteh Anwar.
Letnan Kolonel Anwar, pahlawan bangsa kini tak ubah hanyalah tubuh tua
dekil, tak ada yang peduli. Anwar semakin pupus di tengah sibuknya Kota
Bengkuang. "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para
Pahlawannya" kata Bung Karno. Namun itu hanyalah
barisan kata, bukan
kenyataan. Tak percaya? tanyakan itu semua pada Anwar. Pahlawan kita
yang hinggga saat ini masih menengadahkan tangan untuk bertahan
hidup.Memang Anwar tak minta apa-apa dari perjuangannya. Tapi, apakah
kita tega melihat orang yang melepaskan kita dari jeratan penjajah harus
terlunta. Mengemis untuk hidup. Tanah kemerdekaan yang kita pijak
adalah hasil dari muntahan peluru Pahlawan mengusir penjajah. Namun
kenapa kita menutup mata untuk itu. Apakah rasa penghormatan kepada para
Pahlawan sudah pudar dihantam terjangan zaman. Sekali lagi, jangan
lupakan Anwar yang telah gigih perjuangkan bangsa. Pemerintah? mungkin
lupa juga akan nasib Sang Kapten.
sumber :
kaskus.co.id